Sekitar awal bulan ini gue diundang ke sebuah acara. Tema pertama yang diberikan adalah tentang “Kesetaraan Gender”. Diisi oleh seorang ibu dosen dari sebuah Universitas Islam (mengajar mata kuliah Hukum Islam), beliau penah aktif di Komnas Perlindungan Perempuan, dan juga seorang aktivis perempuan (feminist). Nah ada beberapa hal menarik menurut gue yang akan gue bahas disini.
Di awal membahas tentang gender (peran laki – laki dan perempuan), kita sepakat bahwa imam solat adalah laki – laki. Lalu dia membantah bilang bahwa perempuan juga bisa jadi imam solat. Diceritakanlah kisah Umi Waraqah (hafidzah dan ahli hadits katanya), bahwa dia menjadi imam solat dengan maklum laki – laki dan perempuan, Rasulullah SAW melihat hal tersebut lalu mendiamkannya, which mean hal itu boleh. And that’s totally wrong. Dan menurut gue dia sudah terlalu jauh untuk membahas hal ini dalam konteks gender. Tapi seiring berjalannya waktu gue paham, bahwa dia memang selalu menyalahkan Islam yang seolah – olah membuat wanita berada di posisi rendah.
Oia, sedikit membahas tentang imam solat wanita, itu isu yang sempat rame lagi di tahun 2005 gara – gara Amina Wadud. Untuk mencegah hal nyeleneh itu sampai ke Indonesia, MUI juga dengan sigap langsung mengeluarkan fatwa di tahun yang sama. Ini isinya: Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. “Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.”
Lalu tentang wanita yang lebih baik sholat di rumah. Dia bilang “kenapa sih wanita dilarang sholat di masjid? Kalau jalan – jalan ke mall aja ga dilarang” Oh well perbandingan yang ga sebanding.
Menurut dia, perbedaan – perbedaan (yang membuat wanita seolah lebih rendah dari laki – laki) adalah karena agama kita (Islam) yang selalu mengajarkan bahwa laki- laki adalah pemimpin. Agama lagi yang disalahkan. Dan dia mengucapkan hal itu berkali – kali.
Kemudian ketika membahas tentang peran gender dalam kebijakan, dia memberikan contoh tentang requirement LPDP. Dia bilang bahwa syarat daftar LPDP harusnya dibedakan, misal untuk laki – laki skor IELTS 7, dan perempuan skor IELTS hanya 5. Disanalah dia mulai blunder. Di awal menuntut kesetaraan (yang dia condong definisikan dengan “sama”) tapi giliran disini dia malah membuat kesenjangan, padahal ini masalah kompetensi yang harusnya objektif.
Dari hal itu maka wajar ketika orang lain, termasuk gue, melihat bahwa beliau tampak banyak maunya ( ga tau apakah bisa digeneralisir pada organisasi), di satu sisi ingin disamakan, di sisi lain justru banyak hal – hal yang diminta secara khusus (which means ga mau disamakan).
Kalau kebijakan kaitannya dengan gender, gue lebih setuju dengan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan laki – laki dan perempuan kan berbeda, jadi harus diakomodir keduanya sesuai dengan kondisi masing – masing. Nah untuk bisa tahu kebutuhan perempuan apa saja, maka perempuan harus ikut serta dalam proses merancang kebijakan tersebut. That’s why ada kebijakan cuti hamil dan melahirkan, ruang laktasi, gerbong khusus wanita, toilet wanita, dll.
Setara itu bukan berarti sama.
Tentang peran, disitu ada kewajiban dan hak. Dalam ranah paling sempit, yaitu dalam keluarga juga ada peran masing – masing dari suami dan istri. Hal ini juga sempat dibahas, kenapa wanita diidentikkan dengan mengurus anak sedangkan laki – laki bekerja. Menurut gue sih hal itu udah ga relevan untuk dibahas di forum tersebut (dimana pesertanya mostly adalah wanita karir). Sebenarnya tidak ada yang perlu didebatkan untuk dipersalahkan, tinggal masing- masing menjalankan perannya dengan baik. Kembali lagi, di dalam sebuah peran ada tanggung jawab dan hak.
Iya ga sih?